Curahan Hati OSD
Maaf numpang share, semoga bermanfaat..
Curahan Hati oki setiana dewi.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Baiklah, saya ingin sedikit bercerita
kepada Sahabat sekalian. Saya sangat berbahagia berada di majlis ini.
Saya sangat bangga berada di tengah-tengah kalian. Para
bidadari-bidadari surga dan calon peminang bidadari surga yang
menjadikan al-Qur’an sebagai sahabat sejati.”
“Beberapa pekan
yang lalu, saya berkunjung ke Rumah al-Qur’an Universitas Indonesia yang
berada di kawasan Beji – Depok. Ketika memasuki gerbangnya, hati saya
bergetar hebat. Rumah itu memang kecil. Bahkan, saya baru tahu bahwa di
rumah itu, setiap kamarnya dihuni oleh enam orang. Tapi, kecil fisiknya
bukan berarti kecil pula maknanya.”
“Yang membuat saya bergetar
takjub adalah para bidadari- bidadari dunia yang sibuk dengan mushafnya.
Ada yang sekedar membukanya, khusyu’ bertilawah, sibuk hafalan, atau
yang sibuk mengulang hafalan di setiap sudut rumah itu. Sungguh!
Pemandangan yang menenangkan hati di tengah hedonisnya kehidupan di luar
sana. Di rumah itu, al-Qur’an tidak pernah berhenti didzikirkan. Ketika
satu akhwat berhenti, maka akhwat lainnya melanjutkan. Sungguh!!! Hati
saya bergetar melihat pemandangan itu.”
“Sahabatku sekalian,
menghafal al-Qur’an adalah cita-citaku. Semuanya bermula ketika saya
shooting film Ketika Cinta Bertasbih di Mesir. Saya sangat bersyukur
dengan apa yang telah diberikanNya pada saya.”
“Pada suatu hari,
dalam sesi santai, kami jalan-jalan untuk melepas lelah. Ada sekumpulan
anak yang menghampiriku. Akupun menyambutnya dengan bahagia, mereka
menganggap kami seperti warga mereka sendiri. Kemudian, terjadilah
sebuah dialog yang menghenyakkan pikiran dan hati. Sebuah dialog yang
tidak pernah saya bayangkan sama sekali sebelumnya.Ya, karena yang
bertanya adalah anak-anak yang usianya sekitar belasan tahun.”
“Anak
itu bertanya kepadaku, ‘Kau seorang Muslimah?’ Jawabku, ‘Iya, saya
Muslimah.” Sampai di sini, ia berhenti. Ada tangis yang ditahannya.
Entah, Aku tidak tahu. Setelah itu, anak ini memberikan sebuah
pertanyaan yang tidak bisa saya jawab. Pertanyaan yang menyadarkan
kelalain saya selama ini. Pertanyaan yang membuat saya tak bisa
memejamkan mata dalam bebarapa saat di malam harinya.”
“Tanyanya,
‘Sudah berapa juz Hafalan al-Qur’anmu?’ Allahu Akbar walillahil hamd!
Anak sekecil itu bertanya tentang hafalan. Saya diam terpaku. Lidah ini
kaku untuk sekedar mengatakan berapa jumlah hafalan saya. Saya malu,
belum banyak hafalan. Saya malu pada diri sendiri, malu pada anak kecil
itu dan sangat malu kepada Allah yang telah menciptakan diri ini. Rasa
malu itu semakin bertambah ketika sahabat-sahabatnya menyahut, mereka
menjawab padahal yang ditanya adalah Saya. Kata salah satu dari mereka,
‘Aku sudah delapan juz,’ Sahut yang lain, ‘Aku sudah sepuluh juz,’ dan
seterusnya.”
Setelah bebarapa saat, ia kembali berkata, “Sejak
saat itu, saya berkomitmen untuk kembali menghafal al-Qur’an secara
rutin, sesuai kemampuan saya.”
“Dalam kesempatan yang lain, saya
diberi nikmat dari Allah untuk melaksanakan umroh. Di pinggiran masjid
Nabawi, ada halaqoh al-Qur’an yang dipimpin oleh seorang ustadzah.
Mereka berada dalam sebuah lingkaran cahaya. Semua peserta adalah anak
kecil, sekitar usia Sekolah Dasar. Dalam halaqoh tersebut, saya
bergabung. Ada sebuah hal yang ganjil. Saya, adalah peserta paling besar
sekaligus paling aneh. Sayalah satu-satunya peserta yang memegang
mushaf al-Qur’an. Sementara anak-anak kecil itu, tidak memegang mushaf.
Kajianpun dimulai. Sang ustadzah menyebut secarik ayat secara acak,
kemudian anak-anak kecil itu dimintanya untuk melanjutkan bacaan ayat
tersebut. Subhanallah sahab tku... mereka melanjutkan dengan lancar apa
yang dibaca oleh sang ustadzah. Dan kalian tahu apa yang kulakukan?”
Sambil
menahan tangis agar tidak tumpah, ia melanjutkan, “Saya sibuk
membolak-balikkan mushaf mencari ayat yang sedang dibaca oleh anak-anak
kecil itu. Dan sampai akhir, saya hanya sibuk membolak-balik mushaf dan
tidak menemukan ayat yang kucari itu. Saya malu pada diri, malu pada
anak kecil itu dan sangat malu pada Allah yang telah menciptakanku.”
“Maka,
sepulang dari Madinah, kesadaran saya mulai tumbuh. Di tengah pujian
berbagai pihak atas prestasiku di bidang lain, ternyata saya masih kalah
dengan para penghafal al-Qur’an itu. Merekalah yang layak dipuji,
merekalah yang layak di elu–elukan. Merekalah yang layak disanjung dan
diagungkan. Karena mereka adalah pembawa panji Islam, mereka keluarga
Allah dan orang-orang pilihanNya.” Pungkasnya sambil tetap menahak isak.
Komentar
Posting Komentar